sabilulmunjiat21.com

Kekuasaan Sepenuhnya Yang Berhak Hanya Allah Dalam Kehidupaan in, maka kita tidak perlu sombong terhadap orang lain
/div>

Jumat, 22 Maret 2013

Re-inkarnasi



Kini saya re-inkarnasi lalu menggati ruh saya dengan kerelaan dan ketulusan.  Kerelaan dan ketulusan ternyata amat mudah dan sederhana, maka saya memilih kemudahan dan kesederhanaan itu.
Dulu saya punya impian dan angan-angan lalu saya berlari mengejarnya, kini saya rubah menjadi harapan dan cita-cita hingga saya pun tak perlu mengejarnya. Saya hanya bekerja untuk rela dan tulus agar harapan dan cita-cita itu menjadi nyata.
Dulu saya mengkambing hitamkan Tuhan saya, kini kambing hitam itu ternyata diri saya sendiri, saya merubah prasangka kepada-Nya dengan ihsan, karena sesungguhnya saya adalah manusia bodoh dan tolol
 



Sudah waktunya kita mulai memahami diri kita, serta berfikir dan melakuakan intrepretasi atas segala yang ada dalam kehidupan ini. Sekarang inilah kita harus memaksakan diri untuk sadar, bahwa kita harus “mengetahui” dan memaknai fenomena kehidupan ini, dari fenomena “etrek-etrek sampai kepada fenomena utruk-utruk”.
Tidak ada salahnya kita juga mencari tahu dan merealisasikan secara relevan dan konsisten, kita juga harus loyal terhadap pilihan itu secara konsekuen. Bahasa “diri” amat abstrak, saya tidak akan membahas kalimat ini, pada intinya “Diri” adalah keseluruhan cipta Tuhan yang telah menciptakan diri manusia secara sempurna, dari ujung  rambut sampai kuku. Rambut dan kuku yang bisa memanjang, tidak terasa sakit bila di potong, “sirrul jaliil..” . adanya ruh yang bisa menimbulkan keinginan untuk menggerakan seluruh ajnihah , akhirnya kita bisa bergerak “syadidul qadiir…” apakah kita bisa menggabungkan kekuatan itu ?…… sehingga kita bisa memulai dari diri kita sendiri ?. dalam  beberapa hal perlu kita ingat beberapa poin dasar yang bisa dipijak:
  1. Mulailah dari dirimu sendiri
  2. Baca dirimu
  3. Siapa mengenal dirinya pasti mengenal Tuhannya
  4. Orang Islam yang baik adalah yang bisa meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfaat untuk dirinya
  5. Sebaik-baik manusia adalah orang yang bisa bermanfaat untuk orang lain


dalam diri manusia berkaitan dengan pola kehidupan secara menyeluruh yaitu :
1. Kita perlu memperhitungkan energi diri ( sebagai tempat atau wadah )
2. Diri kita perlu diisi, wadah ini akan kita isi dengan jenis makanan atau hidangan apa ?
3. Bumbu, bagaimana cara kita meramu hidangan tersebut.
4. Tutup, bagaimana kita bisa menjaga dan merawat hidangan itu
5. Ada teknik untuk menghidangakan jamuan itu
Isyarat paling mudah seperti orang–orang sering menggambarkan bentuk hati, sebagaimana kita maklum bentuknya, hal demikian menjadi benar apabila kita memahami makna dari kalimat yang menyatakan : “Fil Qalbi limmnataani , limmatul malak walimmatus- syaithon” (dalam kalbu kita ada dua bagian satu bagian sifat malaikat dan bagian lain adalah sifat syaithon). Lalu dimanakah sifat manusia itu berada dalam qalbu kita ?… ada peribahasa yang menyatakan “manusia tidak bisa baik terus karena bukan malaikat dan tidak bisa jelek terus karena bukan syaithon”.
Agar kita disebut manusia yang seimbang ada dua point yang perlu kita garis bawahi, Pertama : dimanakah posisi sifat manusia itu ?… Kedua : Bagaimana cara memadukan kekuatan akal pikiran dengan qalbu itu ?…..
Untuk memahami hal diatas, kita dapat menghubungkannya dengan memahami makna ruh dalam kalimat WAYAS ALUUNAKA ANIRRUH QULIRRUUHU MIN AMRI ROBBI WAMAA UUTIITUM MINAL ILMI ILLA QALIILA (Q. S Al Isra:15). Makna dari kalimat ini intinya dua.
kesadaran dengan kesadaran itu kita punya ukuran atas kemampuan diri kita. Allah menciptakan segala sesuatu dengan ukuran “WAKHALAQNA KULLA SYAIIN BIQADAR”, hanya saja kita tidak pernah mau tahu ukuran diri kita. Manusia tidak akan pernah hancur manakala ia tahu ukuran dirinya, oleh karenanya jawaban paling bijak atas apriori kita kepada kehidupan ini adalah keseimbangan.
Kejahatan, kejelekan, dan seantero kedzaliman tidak pernah bisa dimusnahkan, tetapi bisa diminimalisir oleh takaran dan ukuran alias kesimbangan. Mari kita perhatikan suatu ilustrasi dari Q.S. As – Saba : 15
LAQAD KAANA LISABAIN FII MASKANIHIM AAYATUN ‘AN YAMIINI WA SYIMAALI KULLU MIN RIZQI RABBIHIM WASYKURUU LAHU BALDATUN THOYYIBATUN WARABBUN GHOFUUR”. Tiga hal dapat kita perhatikan, Pertama, bahwa kiri kanan adalah tanda-tanda “Surga”. Kedua, bersyukurlah atas semua itu (tidak ada pengingakaran), dalam pengertian yang amat luas. Ketiga, hal yang demikian itu dapat menciptakan baldatun toyyibatun warabbun ghofur (Negara Gemah Ripah Loh Jinawi). Kehidupan yang dibangun seseorang akan sangat di pengaruhi oleh asumsi yang dibangunnya. Sedangkan asumsi tidak bebas nilai, asumsi bukan sesuatu yang innocence. Disinilah hipotesa harus dibangun dan harus dilakukan perifvikasi, sebab axioma kebenaran ayat-ayat kauniyah adalah kewahyuan Allah. Untuk menyadari keterbatasan kita memahami itu semua, Allah memberikan ilistrasi kewahyuan –Nya setelah Al Quran yaitu Al Hadits, hal demikian dipahami sebagai terminologi mengapa juga Allah SWT bershalawat kepada Nabi ?..
Kembali kepada jawaban mengenai hubungan antara akal dan qalbu akan semakin jelas setelah dipahami mengenai

5
lah yang khusyu dan tawadlu, maka kemudian jadilah seorang yang bijak, disinilah pangkal pengetahuan dan manunggalnya diri dengan-Nya. Ikhlas harus kita mainkan, agar terjadi imbas positif kepada diri kita, sehingga diri kita akan kembali kepada kesadaran mendasar dari setiap terminology kehidupan secara univers.
Menemukan kemesraan sejati dalam kehidupan ini, adalah upaya penyatuan jasad dan ruh, karena kita sementara ini memperlakukan ruh seperti benda asing yang tidak kita kenali, padahal itu ada dalam kesatuannya dengan mahluk yang bernama manusia, adalah seperti penyatuan realitas dan idealitas, adalah sama dengan penyatuan alam nyata dengan alam tidak nyata, adalah pula menyatunya haq kepada mushoddiq-nya, itu adalah “manunggaling kawula gusti”, berarti itu adalah univers, adalah jumeneng, adalah realistis, adalah logis, adalah rasional, adalah emfirik, adalah nyata, adalah “A”, adalah titik, adalah tiada, adalah hancur, adalah mati. Manusia juga memiliki hakikat dengan sifat jelek, kotor dan salah, tetapi kita harus menempatkannya dibagian yang benar. Oleh karenanya, tegakkanlah ilmu berfikir, dan luruskanlah prinsif-prinsif ilmu pengetahuan, dan kembalilah kepada kejujuran dan kebijaksanaan. Jujur dan bijaksana adalah kebenaran, dan itu hanya milik-Nya, bagi saya benar itu ibarat kematian. Allah memberikan kehidupan dan mematikan, dan semua proses itu telah disusun dengan premis-premis hukum-Nya, dan itu tidak akan pernah salah. Inilah kunci menuju kemesraan itu. Mengapa kita harus takut akan kematian, jika kita berada pada jalan benar ?…
Jika kita tidak bisa berbuat itu semua, paling tidak kita harus berupaya untuk membuka dan membuatkan jalan kearah

dan prustasi dalam kehidupan ini. Bahkan ada orang mendemonstrasikan amarah lawamahnya untuk tidak menyebut lagi nama Tuhan karena sangat putus asa, walaupun tipologi keputusasaan sangat pariatif semuanya tergantung berada dilevel mana manusia itu.
Dibagian negara tertentu ada dari mereka yang memahami dan membangun kehidupan serta memandang manusia atas metologi yang keliru, akhirnya mereka terjebak kedalam determinisme. Dampak dari pola-pola kontrak sosial, inter relasi politik, teori kenegaraan, ekonomi, politik internasional, yang dibangun dengan dasar yang keliru, akan membuat manusia semakin jauh dari hakikatnya. Ironis sekali, ketika sebagaian manusia harus menganggap “Ad Diin” (agama) sebagai belenggu bagi kebebasan berfikir dan berartikulasi, sementara disisi lain, dibangunnya peradaban modern yang membuat manusia harus menganggap dan mempercayai teknologi sebagai TUHAN. Bahkan manusia modern lebih suka membelenggu diri didalam sosio – kultural yang terputus dari mata rantainya. Kita bisa membangun hidup yang sempit ini dengan cara mengumpulkan energi dari harapan-harapan yang dibangun setiap hari, bahkan setiap jam ataupun setiap detik, asalkan harapan-harapan itu dibangun tidak lepas dari axidensinya. Tidak lain axidensinya adalah energi “HU” atau “YUHU”.
Ingatlah kepada beberapa hal :
1. Ala ya’lamu man khalaqa wahua al lattiful khabir
2. Laa tudrikuhul absharu latiful khobiir
3. Wama ramaita idz ramaita walakinnallaha rama
4. Wamakaruu wamakarallah wallahu khairul maakiriin

mimpi yang memberi gambaran sebuah kerajaan Emas yang ditumpas oleh kerajaan perak, lalu ditumpas lagi oleh kerajaan Tembaga, dan akan ditumpas kemudian diganti oleh kerajaan besi yang dicampur baja, kerajaan inipun ditumpas dan diganti oleh kerajaan dari tanah, kerajaan tanah hancur karena di gulung oleh sebuah “batu” besar yang ditiup oleh angin. Tidak ada alternatif dan tidak ada apologia, bahwa jelas dengan pasti kebahagiaan dan berbagai macam kesuksesan hanyalah milik orang-orang yang taqwa.
Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berani meminta kematian, jika kita tahu diri kita akan terus berbuat rusak sepanjang kehidupan. Tidak ada alasan untuk tidak menembus keMaha Kuasaan, jika yaqin kita bisa, dan mampu mengambil peran keholifahan dengan menjembatani “nur cahyaning Gusti”, perhatikan secara arif surat Al Fatihah.
Bagi mereka yang terus berbuat kebatilan dan kerusakan, itu adalah hak mereka. Tetapi kita juga berhak membangun golongan penumpas kebatilan itu. Upaya terbaik agar kita bisa berkumpul dengan grup kebajikan, adalah dengan terus menempatkan aqal kita kepada pondasi yang benar, dan mengikatkan ruh itu kepada sasaran atau tujuan yang benar. Milik siapakah kebanaran itu ?… Walaupun kita tidak bisa menyatu dengan Yang memiliki Kebenaran, paling tidak kita berada dijalan yang tepat, dan berada digaris lurus.
Untuk bisa menyatu, kita bangun hubungan dengan jalan “kesejatian” (taqarrub) kepada Allah, para Rasul dan Al-gauts. Tangga-tangga harus tetap kita bangun dan kita pijaki. Paling tidak, tujuh tangga kehidupan itu terisi.
Banyak hal yang substantif dan penempatannya perlu ilmu dalam petualangan sepiritual tersendiri, seperti Iman,


Jangan biarkan akal kita kosong, karena kita dapat peringatan ( tazkirah ) dari Al Quran surat Ali Imran 191 dan jangan biarkan hati kita dicap dengan quswatul Qalub latihlah agar seperti pada Q. S. Al Baqarah ayat 10.
mengucapkan rasa keputus asaan, “Tuhan ambillah nyawa dari diriku…..”.
Bagaimana kita harus tersenyum ketika mengungkap misteri kematian diri, sebagaimana kita bisa tersenyum menyambut kemenangan. Terhadap sebuah kematian, bukan hanya pribadi itu yang akan terhentak, tetapi jasad lain yang menyaksikanpun akan ikut terhentak, seperti dalam pepatah falsafati bagi seorang hakim yang memutuskan hukuman mati, padahal kematian hanya berhubungan dengan kemaha KUASAAN DZAT, sampai ada kalimat “Nulla unquam de morte hominis cunstatio longa est”.
Saya bukan memberi gambaran untuk prustasi dan berbuat kufur, tetapi coba kita siapkan sebuah tiang gantungan dengan sebuah tali melingkar, dan kita berhadapan dengan tiang itu sebagai upaya protes dan “demons” terhadap keadilan TUHAN kepada diri kita, atau apabila perlu kita mengadakan ritual husus untuk meminta kematian. Tetapi jika kehendak-Nya tetap baik kepada diri kita, maka semua itu tidak akan pernah terjadi. Benar-benar bahwa kematian adalah hak-Nya. Ciptakanlah bahwa “KEMATIAN HAKIKI” adalah sebuah nostalgia dan kemesraan dengan Tuhan Yang MAHA.
Semua diatas adalah gambaran bahwa energi diri kita amat terbatas, kemampuan aqalpun terbatas, kehebatan jiwa terbatas, begitupun “nyawa” terbatas dalam ruang dan waktu, “kemanunggalan” kesejatian dengan diri kita-pun terbatas. kekayaan dan kesuksesan terbatas, kejatuhan dan kehancuranpun terbatas. Pandangan mata terbatas, penguasaan supra empirik terbatas dan banyak hal yang tidak bisa ditembus-pun secara haqqul yaqin terbatas. Kekuatan setan, dan jin bahkan malaikatpun terbatas. Semua yang ada mempunyai hak
mengejar izajah dan tidak mengindahkan kemamapuan keterampilannya, seperti juga orang bekerja dan menerima upah besar dengan alasan dominasi senioritas, sama halnya juga orang menganggap pernikahan adalah melulu sebagai legalitas formal sexsual. Terbukti dengan ramainya media yang terus menggulirkan berita-berita “perceraian” ramainya tuntunan equality (persamaan) hak dan perlindungan kaum wanita, khususnya mengenai kekerasan dan penganiyaan perempuan dalam keluarga. Sebenarnya ilustrasi itu telah membuktikan terjadinya keretakan prinsip. Sebab, pada masa pola kekeluargaan masyarakat barat mengalami hal itu, masyarakat kita sedang berada pada pola tradisional, dan kita tertinggal beberapa langakah, sedangakan kebudayaan ini terus mencari bentuknya.
Hanya saja alangakah bodohnya, kita berkeinginan untuk mencontoh pola laku kehidupan masyarakat dari suatu negara, sedangkan mereka sendiri belum menemukan pola kehidupan idealnya. Mengapa kita tidak belajar dari kegagalan kebudayaan masyarakat modern tertentu, dan kita mencari pola ideal kita yang sesuai dengan struktur sosial dan hati nurani. Sekarang dengan amat bijak kita belajar mengalihkan kiblat kehidupan kita dari ala barat menjadi ala asia, seperti Jepang dan Korea. Selanjutnya kita alihkan pembelajaran ala Asia kepada budaya timur walaupun tidak selalu lebih baik, dari budaya ketimuran kita spesifikasi untuk kembali kepada pranata sosial dan kebudayaan bangsa Indonesia yang identik dengan niali-nilai dan ajaran – ajaran yang dikristlisasikan dalam ideology dan falsafah Pancasila, dalam hal ini sesungguhnya kita telah terpragmentasi, hanya kita tidak menyadarinya, sesungguhnya kita telah memiliki pola yang sangat ideal, tetapi kita telah
Dari pemahaman ayat-ayat diatas wajar munculnya pemaknaan pada hukun “keintiman” antara suami istri sebagai berikut. Pertama : Hak – Kewajiban harus sama sama dijaga seimbang (akan muncul saling pengertian). Kedua: berhubungan dan menggauli, membangun kinerja secara ma’ruf (akan terciptanya mawaddah warahmah Ketiga : Bersabar ketika terjadi kebencian (akan mewujudkan istiqamah / konsisten). Keempat: Melahirkan keturunan / anak (menjelmakan konsekwensi kepada generasi ). Kelima: Adanya kesamaan unsur (melahirkan hukum kewalian dan penetapan nasab). Keenam : Terciptanya wanita dari tulang rusuk laki-laki, adalah pemaknaan “nisbi” yang berarti manusia berpasangan dan adanya kebersamaan (berarti ada faktor sunatullah seperti ada mudah – sulit , ada kaya – miskin, ada kholiq – makhluk) dan seterusnya.
Konsepsi diatas adalah nyata, mengapa kita tidak punya kesadaraan untuk memiliki sikap jiwa yang tinggi, mengapa pula kita harus terperosok dan tidak sukses, bukankah yang kita nikahi adalah saudara kita ?….dimana letaknya kekeliruan ini?.
Rabbul Izzati telah menciptakan segala sesuatu dengan berpasangan, dan dengan takaran tersendiri. Perhatikan beberapa kalimat dibawah ini.
1. Wakhalaqna kulla syai’in biqadar.
2. La-yukallifullahu nafsan illa wus’aha.
3. Qulkullun ya’malu ‘ala syaakilatih, warabbukum a’alamu bima hua ahda sabiila.
Dengan begitu , tidak ada salahnya orang terdahulu selalu menghitung perjodohan, hari baik bahkan sampai kepada jam pernikahan, serta hari dari masing-masing pasangan mempelai, maka TANYAKANLAH KEPADA AHLINYA

13


Tidak ada komentar: